Senin, 28 Januari 2008

kebahagiaan akan datang ketika bisa berbagi dengan sesama


pagi itu dua puluh delapan Desember, bersama motorku yang telah tujuh tahun lamanya setia menemaniku, kulewati jalan solo sampai habis dengan tujuan akhir kota Solo sendiri selama ini belum pernah njajah kota Solo kalaupun lewat itu hanya sekilas saja ketika akan mendaki ke Gunung Lawu. Pagi itu yang kutahu tujuanku adalah Kalurahan Kampung Sewu, degan beberapa kali bertanya dengan warga sipil dan seorang polisi akhirnya sampai juga, badanku merinding ketika melihat air hampir menutupi atap rumah dan terdapat satu mobil pickup terapung di tengah perkampungan tersebut. pertanyaan yang timbul adalah "apa yang bisa kuperbuat?" ditengah lamunan tersebut ada kabar masuk ke HPku agar segera menuju kantor Kalurahan Sangkrah karena ada bantuan masuk dari lembaga internasional di djogja sejak jam satu malem tadi. dengan beberapa kali memutar balik karena banyak genangan air yang tidak bisa dilibas oleh tungganganku ini akhirnya sampai juga ke kantor kalurahan Sangkrah. dengan beberapa obrolan kecil dengan Pak Lurah akhirnya dikasih ruangan untuk menata barang tersebut yang cukup memakan tempat. dengan siselingi Sholat Jum'at akhirnya barang tersebut dapat terdefinisikan walaupun dua persen diataranya menguap "itu tadi ada beberapa yang dipakai untuk kepentingan kantor kalurahan" kata Pak Lurah, "oke deh Pak" dalam hatiku. setelah data di dapat dari Bu Carik maka segera dilakukan penghitungan karena dalam bayanganku barang ini harus segera terdistribusi agar lebih berdayaguna. setelah melakukan perhutingan perbandingan jumlah barang dengan data posko sekaligus kenyataan di lapangan ternyata datanya sangat fluktuatif dengan munculnya posko-posko baru pada saat itu. sore pun menjelang ketika pertarungan antara keadilan pendistribusian dan kecepatan pendistribusian. hujanpun dengan deras turun dengan diiringi kepanikan warga karena Kali Pepe yang membelah kalurahan tersebut dan bermuara ke Bengawan Solo debit airnya naik satu persatu warga datang ke kalurahan dengan membawa berbagai barang bawaan: TV, sepeda, becak, hewan ternak dan yang paling banyak adalah sekarung pakaian. dengan pucat pasi mereka pun satu persatu dinaikan ke kapal boat yang sudah siap untuk evakuasi. "rencananya mereka akan dikumpulkan di GOR Manahan" begitu kata Pak Lurah. air pada saat itu tinggal tujuh meter lagi mengenangi kalurahan. datang ibu setengah baya "mas nitip sepeda ya", "ibu mau ikut mengunsi ke Manahan? tapi nanti klo air sudah surut dan distribusi telah selesai kami mau pindah tempat bu" begitu jawabku "ngak papa mas, kemarin waktu banjir pertama rumahku ikut hanyut jadi buat apa pulang, klo di pengunsian kan banyak temanya nanti saya mau hubungi saudara biar boleh singgah sementara disana" begitru ibu tersebut menimpali. akupun terdiam melihat ibu tersebut pergi sebagai orang terakhir yang harus di evakuasi dengan kapal boat. seketika itu juga suasana manjadi sepi tinggal beberapa pegawai kalurahan dan kami saja yang tersisa. akupun tertidur di antara ratusan tikar dan ribuan sandal jepit yang seharusnya telah menjadi alas tidur para pengungsi perasaan bersalahpun terus menghantui diantara mimpiku. pagi itu dua puluh sembilan desember kami pun terbangun oleh suara salah satu pegawai kalurahan yang membawa \i sebaki\i0 teh hangat "silahkan minum" begitu katanya sambil keluar. kami pun segera bangun karena kerja berat telah menanti target kami siang ini harus terdistribusikan dengan segera. siang telah berlalu ketika dua macam barang telah terdistribusi ke RT - RT dan malampun telah menjelang ketika sarung, sandal dan tiker tersebut telah diterima oleh masing - masing keluarga.

Sate GETHEK


"glodak"
kepalaku terbentur kaca ketika mobil yang saya tumpangi kembali harus melewati jalan yang sangat berlubang disanasini "siapa sih bupatinya?" begitu pertanyaan dari teman di kursi belakang. memang jalan yang kami lewati sunguh sangat parah jika hal ini adalah ukuran jalan utama yang menghubungkan antar kabupaten. walaupun pemandangan alamnya sangat menghibur karena melewati hutan jati dan sesekali perbukitan terlihat dan beberapa hamparan sawah tetapi hal tersebut sangat sulit untuk dinikmati karena kami harus menjaga keseimbangan tubuh yang terlempar kesana-kemari. "pak sopir dikurangi kecepatanya agar goncangannya tidak begitu terasa!" beberapa kali protes terdengar sekali lagi dari teman di kursi belakang. kadang sih agak begitu pelan ketika lubang jalan memang begitu dalam tetapi gas pun langsung di-injak dalam-dalam setelahnya karena bagaimanapun juga kami harus segera sampai karena penduduk sudah menanti. Sorepun menjelang ketika kami sudah memasuki taman seribu lampu (begitu sebutan penduduk setempat pada sebuah area publik yang bukanya di penuhi oleh berbagai pohon tetapi tertancap tiang-tiang lampu yang jumlanya sih tidak sampai seribu -ngak percaya hitung aja sendiri-)
kami pun memasuki dusun yang begitu padat penduduknya. lantainya sih sudah bersih-bersih tetapi di temboktembok rumah masih terdapat bukti otentik terjadinya banjir karena di tembok tersebut sungguh sangat mencolok perbedaan antara batas yang terendam air dengan yang tidak. -sulit mas dihilangkan, mungkin harus di cat lagi- begitu katakata yang muncul dari salah satu ibu yang sedang mencoba membersihkan temboknya. suara azan pun berkumandang ketika paket kebersihan dibawa oleh sebuah becak yang menghilang ditikungan masjid. "mari mas mampir ke tempatnya pak Rt! sudah disediakan sate khas Cepu" begitu ajakan seorang pemuda sambil membawa kertas laporan distribusi yang dimasukan ke dala map biru. wah lumayan nih buat mengobati perut yang keroncongan sejak penurunan barang tadi. akupun sudah membuka lubang hidung agar membesar semaksimal mungkin karena sejak tadi jalan belum sampai juga -silahkan masuk mas!- akupun segera tersadar oleh lamunan ku. belum juga badan ini masuk kesebuah rumah sudah disodori sepiring lontong yang dikasih kecambah dengan lumuran bumbu yang mengoda. "silahkan makan!" akupun segera tersadar oleh lamunanku yang kedua. akupun menganguk sambil menahan rasa laparku karena masih sangat mengharapkan sepiring sate sebagai lauk. "satenya diambil lagi biar temanteman dari jogja merasakan masakan khas kampung ini" sambil bercerita bahwa makanan inilah yang menyelamatkan warga disini dari kelaparan ketika bencana banjir tersebut menerjang, karena makanan ini kuat untuk beberapa hari dan cukup mengenyangkan dan menghasilkan tenaga yang cukup di masa krisis tersebut namanya sate gethek hal ini terinspirasi pada alat transportasi utama sewaktu banjir yaitu tumpukan pohon pisang yang ditata rapi dan disambungkan dengan bambu sehingga berfungsi seperti perahu. sate gethek berbahan dasar ketela pohon yang di potongpotong kemudian direndam dengan bumbubumbu ditusuk jadi satu menyerupai sate dan dibakar. seketika itu perutpun terasa kenyang, terimakasih atas karuniaMU !!!

Dapatkan gratis sepiring pisang bakar selama bulan januari dengan menjawab pertanyaan dari teman di kursi belakang

didukung oleh: www.kentangoreng.blogspot.com

Rabu, 14 November 2007

kejamnya dunia


kepada yang suka akan kuliner kami mengundang ada di Taman Kuliner kios R.28. disana ada kentang goreng dengan berbagai rasa dan masih ada menu roti bakar, pisang bakar keju coklat dan aneka jus serta berbagai minuman hangat. maaf agak promosi dikit karena akhir-akhir ini sepi sekali pengunjungnya bahkan dua hari ini saya tidak dapat uang sepeserpun padahal ini kan baru usaha saya yang pertama, mencoba ingin mandiri dan tidak tergantung dengan orang tua. yaaa....... walaupun masih berstatus sebagai mahasiswa tapikan untuk minta uang kepada ortu dd dalam hati rasanya maluuuu... banget!!! doa'in aku tuk tetap tabah menghadapi dunia yang cukup kejam ini bagi seorang pencari kerja.....